- 1. Ekonomi Indonesia
Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
- 2. Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Dari sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500.
Posisi Indonesia
Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3 jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi, yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia—bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan “rezeki nomplok” lainnya.
- 3. Indonesia Cepat Lalui Krisis
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya.
Stress test versi IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
- 4. Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan darimonetary base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBIoutstanding sudah naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.
- 5. Sektor Perbankan
Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
- 6. Rasio Utang RI Turun 30%
Tahun 2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33% terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp. 906 triliun.
Menurut kepala Devisi Advokasi dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Indonesia, Wahyu Susilo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar